Secarik kertas

•Mei 18, 2009 • Tinggalkan sebuah Komentar

Entah ada apa tiba-tiba aku memikirkan salah satu akibat dari kemajuan teknologi yaitu bidang tulis menulis. Dulu, untuk menulis kita memerlukan setidaknya secarik kertas dan alat tulis, tidak bisa terlalu banyak menulis karena tangan lebih mudah capai. Kini hanya menekan tuts dengan sebuah sentuhan ringan kita bisa menulis sebuah huruf, dengan menggunakan energi yang lebih sedikit ketimbang harus menulis di kertas.

.

Pertanyaannya adalah, apakah akibat dari teknologi ini?

.

.

Mudah saja, pasti kebanyakan orang berpikir ini adalah suatu kemajuan yang baik. Efektivitas meningkat, tulisan panjang yang dulu memakan waktu lama untuk menyelesaikannya—kini bisa dirampungkan dalam waktu singkat. Lebih rapih, dan juga lebih mudah. Tidak perlu ditulis ulang, cukup print ulang dan kita mendapatkan kopiannya dengan cepat. Dilihat seperti ini, menulis menggunakan computer jauh lebih efektif.

.

Tapi aku rindu menulis di atas secarik kertas.

Bunyi gemerisik kertas terkadang lebih menentramkan daripada suara ketukan di atas keyboard.

604800 Detik

•Mei 17, 2009 • Tinggalkan sebuah Komentar

Seminggu ini aku belajar banyak hal yang tidak pernah kudapatkan dari guru sekolah baik SD, SMP, ataupun SMA. Seminggu ini, aku yang biasanya lebih mementingkan teman-teman di dunia maya—kegiatan-kegiatan di dunia maya, kali ini dengan sepenuh hati mengikuti rangkaian acara yang diadakan KIR. Klise memang terdengarnya, aku akan berkata seperti itu jika bukan aku sendiri yang mengalaminya.
.
Aku tidak akan berbohong dan mengatakan aku memiliki andil yang benar-benar besar dalam acara yang bernama SMANSA SCIENCE PARTY itu. Pada awalnya aku bahkan sama sekali tidak merasa punya ikatan apa-apa. Aku mendapat tugas membuat desain salah satunya poster, dan itu saja aku lakukan. Mungkin bisa diibaratkan dengan orang dipercetakan yang menerima pesanan, tanpa tahu akan dijadikan seperti apa pesanannya itu. Aku angkat tangan, mengerjakan apa-apa yang diminta tapi tidak berusaha membantu. Di saat yang lain kesusahan tentang ini dan itu, aku hanya menganggapnya angin lalu sambil menoleh ke arah lain. Tanpa ada perasaan terikat atau apa. Sudah, begitu saja. Dan untuk itu, aku menyesal.
.
Hari pertama acara dan terlewati begitu saja. Untukku sendiri, tidak ada yang spesial dari acara hari itu. Hari kedua, sama saja dengan hari sebelumnya. Sebuah lingkaran yang berulang, monoton tanpa ada apa-apa yang berkesan. Hari ketiga, cobaan terjadi. Panitia lain bertampang muram. Suasana sendu membuatku yang tak mengerti merasa penat. Tapi bagiku saat itu hanyalah sesuatu yang semu dan mereka seakan berada di dunia yang sama sekali berbeda denganku. Itu dunia mereka, bukan milikku. Aku pulang sebelum acara berakhir dan justru menonton pertandingan turnamen bola plastik di mana kelasku bertanding.
.
Lihat, begitu tidak berkesannya bagiku.
.
Hari keempat, aku mengikuti acaranya sampai selesai. Rapat evaluasi dan semuanya. Aku merasa nyaman di tengah-tengah yang lain. Padahal aku sedang puasa, kalau sebelumnya—mungkin aku sudah pulang sejak siang agar bisa berbuka puasa di rumah. Tapi hari itu aku cukup puas hanya dengan seteguk air putih. Sampai di rumah hampir jam delapan malam—sesuatu yang tidak akan aku lakukan dengan sukarela. Kecuali hari itu. Mungkin dari itu saja seharusnya aku bisa melihat bahwa aku mulai berubah. Ke arah yang lebih baik atau buruk—aku belum tahu.
.
Hari kelima, aku pulang malam lagi. Siangnya di saat aku seharusnya menjadi panitia—aku justru menonton penampilan dari bintang tamu di acara lain. Tidak terpikirkan olehku acara di atas. Pikirku saat itu pasti yang lain berada di sana—bukan tugasku mengawas di sana atau apa. Lagipula, aku di sana atau tidak juga tidak ada bedanya. Tapi sore harinya aku datang. Dan sekalipun sebenarnya aku tidak benar-benar melakukan sesuatu yang berarti di sana, aku senang. Hanya menikmati suasana dan bercengkrama—cocok, aura-aura orang ini cocok denganku, mungkin bisa diistilahkan seperti itu.
.
Hari keenam. Acara di kebun raya. Dari hari sebelumnya aku sudah bersemangat. Meskipun sempat kesulitan paginya karena aku paling tidak bisa—apa istilahnya ya, berdandan? Itulah, dengan waktu cepat. Jadi aku sedikit khawatir akan telat. Tapi ternyata kebanyakan yang lain justru lebih telat—dan aku tidak. Hari itu aku mulai menyadari kalau aku tidak sekedar ikut-ikutan dalam acara ini dengan sebuah alasan murahan. Aku suka kegiatan ini. Demi Tuhan. Pengalaman hari ini tidak terlupakan, sungguh. Mulai dari acara di kebun raya, menyusun soal di kantin, memprint soal dan bertukar cerita dengan Farah dan Galish di warnet, memasukan soal-soal ke amplop, mencopot hiasan di aula, membawa-bawa peralatan band dan menumpuk-numpuk kursi di aula. Semuanya merupakan bagian dari kesatuan pengalaman yang menyenangkan. Meskipun sekilas terlihat membosankan dan bukan cara yang akan kupilih untuk menghabiskan malam.
.
Sebelum hari berakhir aku sempat sedikit berbagi dengan Galish. Kita berbicara hal-hal mengenai SSP dan KIR. Bagaimana pada awal masuk KIR, kita—terutama aku mungkin—menganggap enteng masa orientasi. Menganggap itu melebih-lebihkan, hanya merepotkan saja. Tapi sekarang aku mengerti sekali. Aku sendiri akan mengatakan adalah sebuah kebohongan bahwa acara orientasi semacam itu diadakan demi kebaikan adik kelas yang akan meneruskan perjuangan di atasnya. Bukan. Acara orientasi semacam ini, adalah bentuk dari keegoisan terakhir kakak-kakak kelas. Bagaimana mereka menginginkan sebuah bukti, bahwa perjuangan mereka akan diteruskan. Secara tidak langsung untuk kebaikan sang adik kelas memang. Tapi menurutku, ini adalah permintaan terakhir. Mereka ingin merasa lega, mereka ingin merasa puas. Bahwa mereka bisa menyerahkan KIR kepada orang-orang yang bisa bertanggung jawab. Yang akan membawanya ke tempat yang lebih baik.
.
Dan dengan mengerti hal itu saja sudah membuatku sesak.
.
Hari terakhir. Sebagian perasaanku tidak ingin hari ini tiba. Sementara sebagian lain ingin cepat menyaksikan puncak acara ini. Pagi hari aku belum menyiapkan apa-apa yang akan dibawa. Mengingat aku baru bisa memejamkan mata di pagi buta sementara malamnya aku habiskan dengan mempersiapkan hari esok. Kerjaku tidak maksimal, itu, aku tahu. Meski begitu juga, aku berusaha menikmatinya. Karena hari ini juga, aku ingin bisa tersenyum saat menghadap sang Pencipta, seperti apa yang kulakukan selama beberapa hari ke belakang. Dan sampai akhir semuanya menyenangkan. Walaupun kalau dicermati ada entah berapa hal yang bisa merusak semuanya, tapi aku berusaha mengacuhkannya dan memfokuskan diri kepada hal yang positifnya. Dan itu, salah satu pelajaran yang meski sudah kuketahui tapi kali ini benar-benar kuterapkan.
.
Cuaca hari terakhir ini tidak mendukung. Angin kencang berkali-kali menganggu dan awan keabuan sudah mulai berarak ke atas kami. Tapi Tuhan punya rencana, dan Dia yang Maha Baik tidak menurunkan hujan ke atas kami. Cuaca berawan namun tidak ada hujan, dan itu salah satu dari hal yang patut kusyukuri. Secara keseluruhan, hari ini sangat mengesankan. Spektakuler, mungkin itu yang dikatakan orang lain. Tapi ini lebih dari sebuah kata ‘spektakuler’ menurutku. Tidak terungkapkan, yang bisa kulakukan hanyalah tersenyum sekali lagi pada-Nya, karena dialah yang telah mengatur semua ini.
.
Tapi aku melakukan banyak kesalahan juga selama seminggu ini. Dan yang paling besar adalah, bagaimana aku yang tidak ingin kebahagiaanku dirusak jadi tidak bisa mendengarkan perkataan orang lain—tidak mau mengerti orang lain. Itu satu hal yang kusesali, namun sampai sekarang pun aku masih mempertahankan ego itu. Dan aku belajar bahwa seringkali meskipun kita tahu kita salah, kita merasa bersalah, tapi kita tetap melakukannya.
.
Seminggu ini terasa jauh lebih singkat daripada hari-hari yang biasanya. Tapi aku juga belajar lebih banyak daripada apa yang kupelajari di hari-hari biasa. Dan untuk pertama kalinya sejak aku bergabung dengan KIR kurang dari setahun yang lalu, aku mengerti apa yang dimaksud ‘keluarga’ yang sering disebut oleh anggota KIR yang lain. Inilah gotong royong yang selalu diajarkan di sekolah dasar. Bukan hanya bekerja dengan banyak orang, tapi bekerja sebagai satu kesatuan. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Satu minggu ini adalah suatu berkah. Pengalaman yang benar-benar membuatku senang sekaligus sedih. Maaf karena tidak dari awal membantu. Maaf karena aku tidak benar-benar berguna. Mulai sekarang aku tidak akan menghilang lagi. Kemarin adalah sesuatu yang membantu kita melangkah ke hari esok.
.
Terima kasih.

Aku Menamainya Dystopia

•April 23, 2009 • Tinggalkan sebuah Komentar

Dongeng ataupun mitologi semuanya kulahap habis. Norse, Yunani, Mesir, semuanya adalah pengetahuan baru yang lebih penting daripada sekedar pelajaran fisika atau kimia. Setidaknya menurut pandanganku. Dongeng itu sumber inspirasiku, kala menulis dan kehabisan ide maka aku membuka folder inspirasiku yang berisi kisah-kisah dari berbagai belahan dunia. Entah sejak kapan aku mulai menyukai kisah-kisah bersejarah, padahal sewaktu masih di sekolah dasar, pelajaran sejarah menjadi salah satu kebosanan yang jam pelajarannya berlangsung terlalu lama. Kini aku justru tak habis pikir mengapa teman-temanku yang berpikiran seperti itu.

.

Waktu mengubah manusia.

.

Dulu juga, aku paling tidak suka ujian Bahasa Indonesia. Ujian itu  selalu diakhiri dengan tugas untuk mengarang, dan aku selalu mengalami kesulitan dalam merangkai kata untuk satu tulisan mudah yang terkadang temanya sangat umum. Andai dulu aku sudah seperti ini, mungkin bagian itu akan menjadi favoritku. Roda kehidupan terus bergulir dan kurasa aku juga ikut berputar, berubah menuju akhir yang kuharap lebih baik daripada sebelumnya.

.

Dystopia, sebuah kata dari bahasa Yunani, lawan dari utopia. Cek di wikipedia dan bisa kita dapatkan info yang cukup lengkap tentangnya.

.

“A dystopian society is one in which the conditions of life are miserable, characterized by human misery, poverty, oppression, violence, disease, and/or pollution.”

((http://en.wikipedia.org/wiki/Dystopia))

.

Lucu benar, aku memilih nama yang sekilas terlihat sarat dengan kemelaratan dan kehancuran. Aku berbohong kalau aku bilang kehidupanku seperti itu. Hidupku sempurna sekaligus jauh dari sempurna. Tergantung dari sisi mana aku melihatnya. Saat aku sedang menjadi insan yang beriman dan berbahagia atas pemberian-Nya, hidupku terasa sempurna. Apa lagi yang bisa diharapkan oleh seorang manusia ketika sudah memiliki keluarga dan teman? Tapi terkadang juga, saat aku sedang menjadi manusia yang kufur nikmat-Nya, aku merasa tinggal di Dystopia ini. Semua yang ada di sekelilingku seakan memaksaku untuk menutup diri dari dunia yang menyedihkan.

.

Ini Dystopia-ku.

.

Aku berharap bisa mengubahnya menjadi Utopia seiring dengan berjalannya sang kala, sehingga aku bisa lebih bersyukur setiap saat.